Kamis, 04 Agustus 2011

Tetaplah Jadi Harapanku

                  Kokok ayam jantan yang saling bersahut-sahutan serta sayup-sayup suara azan yang terdengar menandakan bahwa malam telah berlalu dan pagi telah datang. Tri Mulyati,atau yang biasa dipanggil “Yati” pun bergegas melaksanakan sholat subuh serta menyiapkan sarapan untuk suami dan ketiga anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Setelah selesai sarapan,Yati langsung menyiapkan gerobak,peralatan,bahan,serta bumbu-bumbu yang diperlukan untuk  menjajakan nasi uduk dengan dibantu oleh ketiga anaknya, yaitu Radit,Tio,dan Fauzi. Suaminya, Pak Priyo yang berprofesi sebagai tukang becak pun ikut membantu istrinya menyiapkan berbagai macam keperluan untuk berjualan. Setelah anaknya berangkat ke sekolah dan suaminya pergi bekerja, Yati pun mulai melangkahkan kakinya ke luar dan mengerahkan segenap tenaga,semangat dan harapan agar dagangannya dapat laku keras.                   3 jam telah berlalu. Belum ada satupun pembeli yang berminat mencicipi nasi uduk buatan Yati. Ia heran. Biasanya kurang dari 15 menit setelah dia meninggalkan rumahnya, para pembeli, khususnya orang yang biasa melakukan jogging pagi langsung beramai-ramai mendatangi gerobak uduk Yati. ”Kenapa hari ini sepi sekali ?”, Yati melemas. Saat dia sedang sibuk memikirkannya, panas dan rasa lelah mulai menyerang sekujur tubuh Yati. Keringatnya mulai mengucur dengan deras dan membasahi kaos merah kesayangannya. Rasa panas yang amat sangat menyebabkan Yati merasa seakan-akan kulitnya terbakar oleh api dan tubuhnya meleleh bagaikan lilin. Meskipun begitu, hal tersebut tak ia hiraukan. ”Sabarlah Yati”, Yati memberi semangat kepada dirinya sendiri. Dia sudah terbiasa dengan rasa lelah dan panas yang ia rasakan itu, karena sudah 7 tahun lamanya dia menekuni profesinya sebagai tukang nasi uduk keliling. Asap,debu,bahkan cuaca yang ekstrim sudah bukan penghalang lagi baginya. Walau nasi uduknya tak cepat laku seperti biasanya, dia tetap mendorong gerobaknya sekuat tenaga dan penuh semangat dengan tangannya yang hitam,kurus,dan kecil itu.
            Beberapa menit kemudian, Yati berhenti di sekitar gedung Sekolah Menengah Pertama Negeri 21. Saat itu,anak-anak sedang jam istirahat dan sebagian besar dari mereka sedang berada di luar lingkungan sekolah. Beberapa dari mereka yang penasaran mulai mendatangi gerobak uduk Yati. ”Bi,nasi uduknya 3 piring ya!”, sahut salah satu anak. “Iya ndok,sabar ya.”, jawab Yati sambil menyunggingkan senyum di pipinya. Dengan cepat ia langsung membuatkan pesanan mereka Tangannya yang kurus dan kecil itu sibuk menyentong nasi,menggiling bumbu,dan memasukkan gorengan,telur rebus,serta sambel tempe. Mereka terlihat sangat menikmati nasi uduk buatan Yati.”Makasih ya Bi, ini uangnya’, sahut anak-anak itu. ‘Iya ndok,sama-sama”, jawab Yati dengan ramah.
            10 menit telah berlalu. Pelanggan nasi uduk Yati pun bertambah. Kini tidak hanya murid, guru-guru pun mulai mendatangi gerobak uduk Yati. Mereka penasaran, seenak apa rasa nasi uduk buatan Yati sehingga membuat murid-murid bergerombol memesan nasi uduk tersebut. Senyum pun tersungging dari bibir Yati. Hatinya benar-benar merasa senang. Baru kali ini Yati menerima pelanggan sebanyak ini. Penghasilan yang didapatnya hari ini pun lebih banyak dari sebelumnya. “Alhamdulillah,hari ini penghasilanku lebih banyak dari kemarin-kemarin.”, ujar Yati sambil mengucap syukur. Ia tidak mengira bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya. Sesaat kemudian,dia teringat bahwa besok anak sulungnya akan berulang tahun. Sudah lama Radit, anak sulungnya itu menginginkan sepatu sekolah baru, karena sepatu lamanya sudah berlubang dan sobek bak digigit anjing. “Sebaiknya uang ini aku gunakan untuk membeli sepatu baru Radit saja,dia pasti senang.”, pikir Yati. Ia ingin menggunakan sebagian penghasilan yang didapatnya hari ini untuk memenuhi kebutuhan anak sulung kesayangannya itu.
            Waktu terus berjalan, dan tidak terasa sudah menunjukkan pukul 15.30. Guru dan anak-anak SMP kelas 3 yang mengikuti tambahan sore telah kembali ke rumah masing-masing. Suasana sekolah yang tadinya begitu ramai kini mulai terasa sepi. Yati pun mulai mendorong gerobaknya menuju ke rumah. Kini hatinya diselimuti oleh rasa senang dan bahagia.
            Sesampainya Yati di rumah, Ia heran melihat suaminya duduk terdiam di kursi dengan wajah yang pucat pasi. Ketika dia melihat ke arah  istrinya, keringat dingin langsung membanjiri wajahnya dan dia pun mulai berbicara. “Bu, Ra...Radit, Radit..”, ucap suaminya sambil terbata-bata. Yati tidak mengerti apa yang suaminya bicarakan, karena bibir suaminya yang gemetaran itu hanya mengeluarkan kata-kata yang tak beraturan saja. Waktu semakin berjalan, dan Yati pun semakin tambah penasaran. Akhirnya, ia pun mulai bertanya pada suaminya dengan nada sedikit kesal. “Opo toh pak? Kalau ngomong itu yang jelas toh!”, ujar Yati penuh tanda tanya. “Ra...Radit Bu, Radit anak kita..kecelakaan!”, sang suami menjawab sambil meneteskan air mata. “Astaghfirullahal’azim, kok bisa Pak?”, tanya Yati tak percaya. “Tadi, teman-teman Radit kesini. Mereka bilang ke Bapak, saat mereka sedang bermain layang-layang di sisi kiri jalan, tiba-tiba saja layangan Radit putus dan terbang ke sisi kanan jalan. Lalu, spontan Radit langsung mengejar layangannya dan menyebrang jalan tanpa memperhatikan kiri-kanan jalan,sehingga mobil pick-up yang saat itu sedang melaju dengan kecepatan tinggi langsung menghantam tubuh Radit dengan keras dan menyebabkan luka yang cukup parah.”, ujar sang suami dengan panjang  lebar.
            Setelah mendengar berita pahit itu, bercucuranlah air mata Yati. Jantungnya berdegup sangat cepat. “Ya Allah, Radit! Semoga tidak terjadi apa-apa pada anakku, Ya Allah!”, Yati memohon dengan wajah yang penuh dengan air mata. Dengan ekspresinya yang tak karuan, dia dan suaminya langsung berlari mencari angkot. Setelah sampai di rumah sakit, dia mendapati anaknya sedang berada di ruang ICU. “Radit,yang kuat nak. Ada Ibu disini. Cepat sembuh nak..”, harap Yati dalam hati. Air mata pun kembali membasahi kedua pipi Yati.Dia berharap semoga anaknya bisa segera sembuh. Namun harapan tinggallah harapan. Radit mulai menghembuskan nafas terakhirnya ketika dokter sedang berusaha menyembuhkannya. Melihat itu, Yati langsung terduduk lemas di lantai dan air matanya mengalir semakin deras. Sejenak, hatinya terasa dingin, sedingin lantai rumah sakit yang ia duduki saat ini. Dadanya terasa sesak, seakan paru-parunya tersumbat oleh sesuatu. Tatapannya terasa kosong dan pikirannya langsung dipenuhi oleh wajah anak sulung tercintanya itu. Dia tidak menyangka bahwa dia akan kehilangan Radit secepat ini. Padahal dia sudah berencana untuk membelikan Radit sepatu baru di hari ulang tahunnya besok. Namun ternyata, takdir tidak berkata demikian.
“Radiiit...jangan tinggalkan Ibu nak!”, tangis Yati memecah kesunyian di RS Abdoel Moeloek itu.
            Keesokan harinya, Radit dikebumikan setelah waktu Dzuhur. Yati dan suaminya hanya bisa meratapi batu nisan anak sulungnya itu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Yati tidak bisa merelakan kepergian Radit. Namun,dia tetap mendoakan agar anaknya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah berdoa, Yati dan keluarganya pulang ke rumah. Banyak ucapan belasungkawa dan kata-kata yang menghibur dari para tetangga dan kerabat. “Yang sabar yo, Ti. Ikhlaskan Radit. Dia pasti tenang disana jika kamu merelakan kepergiannya.”, ucap para tetangga memberi semangat pada Yati. Meskipun begitu,hatinya tetap saja terasa pilu. Namun, bersedih terus-menerus bukanlah jalan keluar yang terbaik. Sejenak, Yati memandangi wajah kedua anaknya. “Aku harus tetap kuat dan tersenyum demi kedua anakku yang lainnya. Aku tidak bisa terus-menerus bersedih karena Radit.”, Yati meyakinkan dirinya sendiri. Saat itu,Yati pun tersadar bahwa ia tidak boleh merasa terpuruk karena kepergian Radit. Ia masih memiliki kedua buah hatinya yang akan selalu menjadi harapannya dan alasan yang dia miliki untuk terus berjuang,bekerja keras dan tetap hidup.